Sejarah Tes Psikologi
Sejarah tes psikologi dapat
dihubungkan dengan praktek sehari-hari. Tes psikologi selalu berkembang. Tes
psikologi pada awalnya berfokus pada pengukuran intelegensi di Eropa selama
abad 19 dan di awal perang dunia pertama. Sebenarnya tes berbasis psikologi ini
telah digunakan di Cina sekitar tahun 2200 sebelum Masehi. Kerajaan Cina
menggunakan tes tertulis untuk memilih para pejabat negara. Hingga awal
pertengahan 1800an, beberapa fisikawan dan psikiater mengembangkan prosedur
standar untuk mengungkap gejala alam dan gejala-gejala sakit mental.
Awal dari tes psikologi secara
sistematis diawali dari Teori Darwin dengan teori evolusinya pada tahun 1860.
Kecerdasan setiap makhluk hidup berbeda-beda dan semua makhluk berevolusi muali
dari taraf mahkluk yang paling rendah hingga ke taraf makhluk yang paling
sempurna. Hal ini berlaku pada manusia. Ini yang mengakibatkan beberapa orang
meyakini bahwa manusia memiliki strata kemampuan berkaitan dengan akalnya.
Tahun 1900, Alfred Biner, psikolog dari Prancis tertarik yang tertarik pada
anak dan pendidikan. Bersama dengan temannya, Theodore Simon diminta oleh
menteri pendidikan untuk dapat memprediksi kondisi anak mana yang menanggung
resiko mengalami kegagalan dalam sekolah mereka. Berdasarkan pengalaman mereka,
mereka membuat pertanyaan-pertanyaan yang diklaim dapat menentukan tningkat
keberhasilan anak dalam belajar. Tes yang dibuat sangat kental dengan
kemampuan-kemampuan sekolah yang menekankan pada kemampuan-kemampuan sekolah.
Hingga muncul tes psikologi Binnet-Simon dan diikuti oleh tes-tes psikologi
lainnya. Tes psikologi yang semula hanya mengukur kemampuan akademis seseorang
mulai diyakini bahwa bila sesorang meraih nilai yang tinggi dari tes tersebut,
maka akan berdampak bahwa orang tersebut akan berhasil di masa depan.
Sebaliknya, bila seseorang meraih nilai tes rendah dalam tes tersebut, maka
orang tersebut dipastikan akan gagal di masa depan. Ini merupakan asumsi yang
keliru.
Asesmen psikologi memliki rentang
cakupan yang luas. Dalam asesmen, psikolog mengitergrasi informasi dari
berbagai sumber. Salah satunya tes psikologi. Tes psikologi merupakan unstrumen
penting dalam proses asesmen. Awalnya fungsi tes psikologi adalah untuk
mengukur perbedaan –perbedaan antar individu atau antar reaksi individu yang
sama dalam situasi yang berbeda. Namun, dewasa ini, tes psikologi digunakan
untuk pemecahan permasalahan praktis yang berskala luas, baik di bidang
pendidikan, klinis, maupun organisasi. Asesmen psikologi merupakan tahapan yang
penting sebelum intervensi psikologis dapat dilakukan. Dengan melakukan asesmen
psikologi, psikolog dapat mendapatkan informasi mengenai individu.
Konsep Dasar Tes Psikologi
Tes pada dasarnya adalah alat
ukur atribut psikologis yang objektif atas sampel perilaku tertentu. Bagi anda
sebagai pendidik, tes merupakan salah satu instrumen asesmen yang banyak
digunakan untuk menggali informasi tentang sejauh mana tingkat penguasaan
kompetensi siswa terhadap kompetensi yang disyaratkan. Tes pada dasarnya
merupakan alat ukur pembelajaran yang paling banyak digunakan dalam melakukan
asesmen proses dan hasil belajar siswa dalam pengajaran klasikal.
Terdapat lima jenis atau cara pembagian tes
yaitu :
·
Jenis tes berdasarkan waktu penyelengaraan
v
Tes masuk (Entrance Test)
v
Tes formatif (Formative Test)
v
Tes sumatif (Summative Test)
v
Pre-Test dan Post-Test
·
Jenis tes berdasarkan tujuan penyelengaraan
v
Tes seleksi
v
Tes penempatan
v
Tes hasil belajar
v
Tes uji coba
·
Jenis tes berdasarkan cara mengerjakan
·
Jenis tes berdasarkan cara penyusunan
·
Jenis tes berdasarkan bentuk jawaban.
Fungsi dan Aplikasi Tes Psikologi
Secara mendasar, fungsi tes
psikologi adalah untuk mengestimasi perbedaan antara individu dengan
reaksi-reaksi individu yang muncul pada situasi yang sama maupun berbeda.
Awalnya tes psikologi berkembang dari asumsi untuk mengidentifikasikan indivisu
yang mengalami keterbelakangan mental, hingga sekarang penggunaannya secara
klinis mencakup subjek dengan gangguan emosional yang parah maupun
masalah-masalah perilaku lainnya. Salah satu motivasi perkembangan tes
psikologi juga mendasar pada kebutuhan untuk memberikan penilaian dalam idang
pendidikan, misalnya Tes Intelegensi Binnet yang masih digunakan hingga
sekarang. Selain itu, peranan lainnya adalah untuk menyeleksi dan klasifikasi
sumber daya manusia yang digunakan dalam industri-industri dalam memilih
karyawan, personil militer, dan sebagainya.
Suatu tes psikologi akan berbeda
fungsinya dengan tes psikologi lainnya. Ini mengilustasikan bahwa suatu tes
psikologi disusun dengan sifat-sifat tes dan fungsi yang berbeda. Beberapa tes
berfokus pada penilaian ciri-ciri atau kogntiif yang berkisar pada mengestimasi
kemampuan dan potensi pada individu hingga keterampilan sensorimotor yang
spesifik.
Secara praktis, tes psikologi
adalah alat ukur yang objektif dan dibakukan atas sampel perilaku tertentu.
Dalam penyeleksian, item-item soal tes juga dipertimbangkan dengan jumlah
subjek yang menjadi sampel perilaku yang melewati tiap item soal tersebut. Hal
ini memungkinkan adanya sejumlah item tes yang akan dieliminasi. Mengenai
seberapa besar keakuratan suatu alat tes psikologi nampaknya tidak dapat
ditentukan secara pasti. Kadang-kadang dalam suatu situasi, kehandalannya dapat
diuji. Disisi lainnya, pendapat-pendapat subjektif, dugaan-dugaan, dan bias-bias
pribadi bisa mengarah pada klaim-klaim berlebihan mengenai apa yang dicapai
oleh tes tersebut. Evaluasi objektif tes-tes psikologi adalah suatu solusi
untuk mengetahui validitas dan kehandalan alat tes dalam situasi-situasi
khusus.
Kriteria Tes yang Baik
Ada beberapa kriteria yang dapat
dipakai untuk menyusun butir-butir tes yang berkualitas yaitu :
- Valid
- Relevan
- Spesifik
- Representatif
- Seimbang
- Sensitif
- Adil
- Praktis
Kualitas instrumen sebagai alat
ukur ataupun alat pengumpul data diukur dari kemampuan alat ukur tersebut untuk
dapat mengungkapkan dengan secermat mungkin fenomena-fenomena ataupun gejala
yang dapat diukur. Kualitas yang menunjuk pada tingkat kemantapan serta
konsistensi dari data yang diperoleh itulah yang dapat disebut dengan validitas
dan reliabilitas. Validitas alat ukur
menunjukkan kualitas kesahihan suatu instrumen. Alat pengumpul data dapat
dikatakan valid atau sah apabila alat ukur tersebut mampu mengukur apa yang
seharusnya diukur atau diinginkan. Jenis-jenis validitas yang dapat dipakai
sebagi kriteria dalam menetapkan tingkat kehandalah tes diantaranya adalah :
- Validitas
permukaan (Face Validity)
- Validitas
konsep (Construct Validity)
- Validitas
isi ( Content Validity)
Kerlinger (1986 : 443)
mengemukakan bahwa reliabilitas dapat diukur dari tiga kriteria yaitu :
- Stability
: yaitu kriteria yang menunjuk pada konsistensi hasil yang ditunjukkan alat
ukur dalam mengukur gejala yang sama pada waktu yang berbeda.
- Dependability
: yaitu kriteria yang mendasarkan diri pada kemantapan alat ukur atau seberapa
jauh alat ukur dapat diandalkan.
- Predictability
: oleh karena perilaku merupakan proses yang saling berkait dan
bekesinambungan, maka kriteria ini mengidealka alat ukur yang dapat diramalkan
hasilnya dan meramalkan hasil pada pengukuran gejala selanjutnya.
Projective Approches
Dalam tes-tes kepribadian dengan
pendekatan proyektif, klien berespon terhadap stimulus ambigu, sehingga tanpa
sadar klien mengungkap struktur dasar dan dinamika kepribadiannya. Beberapa
tekhnik proyektif yang terkenal dan digunakan secara luas antara lain
Rorschach, Thematic Apperception Test (TAT), Children’s Apperception Test
(CAT), tes Draw A Person (DAP), tes Make Up Story (MAPS), Michigan Picture
Story Test, dan Sentence Completion Test
- Thematic
Apperception Test (TAT) : Dalam tes ini, klien diminta membuat cerita dari
beberapa kartu bergambar yang disajikan satu persatu. Klien dapat menulis
sendiri ceritanya atau examiner yang menulis cerita klien. Tugas klien adalah
menceritakan apa yang sedang terjadi saat ini, sebelumnya (situasi apa yang
menyebabkan peristiwa saat ini), bagaimana pikiran dan perasaan tokoh-tokoh
yang ada dalam cerita, dan bagaimana akhir cerita yang dibuat klien. Cerita
yang dibuat klien dianggap memiliki implikasi terhadap konflik ataupun masalah
yang dialami klien. Interpretasi klinis yang dilakukan terfokus pada
dimensi-dimensi seperti bagaimana tokoh-tokoh berinteraksi, tingkat kehangatan
atau konflik dari interaksi tokoh-tokoh, impian atau cita-cita tokoh, harapan
tokoh terhadap diri dan lingkungannya, dan level kematangan secara umum yang
diindikasikan dari bentuk cerita. Tema-tema dari TAT dapat menggambarkan fungsi
kepribadian secara luas dan bermanfaat dalam mengidentifikasi sumber utama
konflik sehingga dapat ditentukan interpretasi terapeutik yang sesuai. Cerita
TAT pada dasarnya menggambarkan seperti apa yang klien lihat di sekitar dirinya
dan orang-orang seperti apa yang ia rasakan tinggal bersama di dunia ini.
Bentuk modifikasi dari TAT adalah CAT (Children’s Apperception Test) yang
menyediakan gambar yang terfokus pada konflik, hubungan orang tua, permusuhan
dengan saudara kandung, toilet training, dan situasi lain yang sering ditemui
pada anak-anak. Test lain yang mirip dengan TAT dan CAT adalah Michigan Picture
Story Tes (MPST). Terdiri dari material yang menggambarkan anak-anak dalam
hubungannya dengan orangtua, polisi, dan figur otoriter lainnya, dan juga
teman-teman. Tes ini sangat bermanfaat dalam melihat struktur dari sikap
anak-anak terhadap orang dewasa dan teman-teman, sekaligus mengevaluasi masalah
yang mungkin timbul. Selain itu ada juga tes Make A Picture Story (MAPS) yang
memiliki kesamaan dengan MPST dalam hal tujuan dan potensi interpretasi yang
dimiliki. Perbedaan MAPS dengan tes lain yaitu, pada MAPS klien diperbolehkan
memilki karakter yang akan diletakkan pada latar belakang panggung yang kecil,
untuk kemudian klien membuat cerita berdasarkan situasi tersebut.
- Figure
Drawing : beberapa pendekatan dalam mengevaluasi kepribadian dengan menggunakan
gambar yang dibuat klien telah berkembang. Dalam hal ini, kemampuan menggambar
bukanlah faktor utama. Salah satu bentuk test-nya adalah Draw A Person (DAP). Dimana
klien diminta untuk menggambar seorang lelaki dan perempuan menggunakan pensil
dan kertas. Gambar orang dapat memberikan kesan pertama dengan segera seperti
sikap bermusuhan atau agresif atau orang yang pasif dan submisif. Interpretasi
juga didasarkan pada ukuran gambar, posisi, postur, apakah gambar orang
terlihat percaya diri, ramah, dan sebagainya. Sebaiknya dalam menginterpretasi
DAP juga dikaitkan denga temuan-temuan dari tes-tes lain.
- Incomplete
Sentence Test : dalam metode proyektif ini, klien diberikan sejumlah kalimat
yang belum selesai dan diminta untuk melengkapi kalimat sehingga menjadi kalimat
yang memiliki arti. Kalimat-kalimat ini memiliki kecenderungan dalam
aspek-aspek seperti pre-okupasi terhadap seksual, perasaan religius, hubungan
dengan orangtua, teman, rasa takut, cemas, perasaan bersalah, sikap bermusuhan,
dan impuls agresi. Bentuk respon klien yang dapat memberikan insight kedalam
area konflik termasuk juga kelebihan dan kekurangan dari kepribadian klien.
- Competency
Screening Test (CST) : psikolog terkadang dipanggil ke pengadilan untuk
mengevaluasi status mental atau intelegensi sesorang untuk membantu pengadilan
terkait dengan kasus orang tersebut. Untuk keperluan inilah, CST dikembangkan.
Tes ini dilakukan dengan cara melengkapi 22 kalimat dimana setiap kalimat
terkait dengan aspek peran terdakwa dalam pengadilan kriminal. Setiap item
diskor 0.1 atau 2 secara manual. Terdakwa yang mendapatkan skor 21 ke atas,
telah terbukti kompeten dalam pengadilan dengan tingkat kepercayaan diri yang
tinggi. Tes ini membutuhkan waktu sekitar 15-20 menit.
- Rorschach
Test : metode proyektif yang paling dikenal dan digunakan secara luas dalam
melihat kepribadian sesorang adalah tes Rorschach. Dalam tes ini klien
diperlihatkan 10 kartu dengan bentuk ambigu hasil dari cipratan tinta yang
hampir simetris. 5 kartu berwarna hitam, putih, dan abu-abu yang berbayang
sedangkan 5 kartu lainnya memiliki warna. Kebanyakan arti setuju bahwa tes
Rorschach ini merupakan tekhnik psikodiagnostik yang signifikan dan sensitif.
Tes ini mengevaluasi emosi-emosi yang dialami klien dalam hidupnya, tingkat
intelektual dan membantu menjelaskan komponen-komponen kepribadian seseorang.
Ada 3 kategori penting dalam memberikan skor tes ini, yaitu lokasi yang
menunjukkan pada bagian respon dilihat oleh klien dalam kartu, determinan yang
menunjukkan bagaimana respon tersebut dilihat, dan konten yang menunjukkan apa
yang dilihat klien dalam kartu. Para psikolog ahli yang telah berpengalaman
dalam tes ini menemukan bahwa respon yang diberikan klien baik anak-anak maupun
dewasa mengindikasikan beberapa tipe dari gangguan kepribadian dengan
karakteristik respon tertentu. Misalnya, pada gangguan psikotik dan skizofrenia
lainnya, ditemukan bahwa repon yang ditemukan ganjil dan aneh, kulaitas bentuk
biasanya lemah, dan ada ketidaksesuaian antara yang dilihat klien dengan
stimulus sebenarnya dalam kartu. Klien-klien ini biasanya memfokuskan seluruh
perhatian mereka pada detail-detail sementara komponen-komponen utama
diabaikan. Kadang-kadang mereka juga terlalu melibatkan emosi mereka pada
kartu-kartu dan mempersonalisasikan persepsi mereka dalam cara tertentu
sehingga mereka tidak mampu membedakan antara diri mereka dan kartu Rorschach.
Dalam beberapa kasus ini diagnostik dimana terdapat gangguan psikologis seperti
gangguan pikiran yang signifikan, penggunaan tes Rorschach sangat disarankan.
Tidaklah sulit dalam mengadministrasi maupun men-skor tes ini. Namun dalam
mengiterpretasi dibutuhkan psikolog yang handal dan berpengalaman.
Pentingnya Pengembangan Asesmen
Psikodiagnostik
Asesmen psikologi sedang berada
dalam lajur perubahan yang cepat. Terdapat pergeseran orientasi, aliran tetap
yang konstan dari tes-tes baru, bentuk-bentuk tes lama yang direvisi, data
tambahan yang bisa menghaluskan atau mengubah interpretasi skor-skor pada tes
yang ada. Laju perkembangan yang semakin cepat ini mendorong dikembangkannya
alat-alat psikodiagnostika yang telah ada, agar mutu tes dan efek testing
terhadap kesejateraan individu menjadi lebih baik.
Teori kecerdasan berganda (Theory
Of Multiple Inteligences) adalah salah satu penemuan yang paling penting dalam
pendidikan saat ini. Howard Gardner, seorang psikolog dari universitas Harvard
yang mengembangkan teori ini berdasarkan dari teori psikologi perkembangan dan
teori kognisi. Dalam bukunya Frame Of Mind tahun 1983, mendefinisikan 7 dasar
kecerdasan manusia dan kemudian berkembang menjadi 9 kecerdasan yang
meruntuhkan teori psikologi tradisional dengan tes IQ-nya. Pangkal dari teori
kecerdasan berganda adalah pengakuan sepenuhnya pada perbedaan individu
(individual diferences). Setiap orang memilki kekhususan dalam mengembangkan
kemampuannya. Gardner mengelompokkan kecerdasan tersebut dalam 7 kecerdasan
yaitu :
- Kecerdasan
Linguistik / Bahasa (Linguistic Inteligences) : merupakan kecerdasan yang
mewakili kemampuan bahasa secara keseluruhan.
- Kecerdasan logika matematika disamping kemampuan ilmu pengetahuan.
- Kecerdasan
Ruang ( Spacial Inteligences) : adalah kemampuan membentuk model mental dari
dunia ruang dan mampu melakukan berbagai tindakan operasional menggunakan model
itu.
- Kecerdasan
Musik (Musical Inteligences)
- Kecerdasan
Gerak Badan / Kinestetik (Bosy Kinesthetic Inteligences) : adalah kemampuan
meyelesaikan masalah menggunakan seluruh anggota badan atau sebagian badan.
- Kecerdasan
Antar-Pribadi (Interpersonal Inteligences) : adalah kemampuan untuk memahami
orang lain mencakup apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, serta
bagaimana bekerja sama.
- Kecerdasan
Intra-Pribadi (Intrapersonal Inteligences) : merupakan kemampuan yang mengarah
ke dalam diri yaitu kemampuan membentuk model yang akurat, dapat dipercaya dari
diri sendiri, dan mampu menggunakannya untuk berprestasi dalam hidup.
Dalam perkembangannya, jumlah
aspek kecerdasan bertambah terus. Ada juga yang menambahkan kreativitas
intuitif sebagai satu aspek kecerdasan manusia yang paling tinggi. Malah
belakangan, Gardner sendiri menambahkan satu lagi unsur kecerdasan yang
disebutnya kecerdasan eksistensial yang lebih mirip kecerdasan spritual. Kedua
kecerdasan ini belum terdefinisi secara spesifik. Namun ada anggapan bahwa
Gardner sedikit mengakui kecerdasan spiritual dalam kecerdasan eksistensialnya.
Sumber :
Anastasi, Anne, Susana Urbina.
1997. Tes Psikologi : Psychological Testing 7th Edition : Edisi Bahasa
Indonesia; Jilid 2. Jakarta : Prenhallindo.